Tuesday, July 9, 2019

FAKTOR-FAKTOR MANUSIA TIDAK MENGGUNAKAN PIKIRANNYA



Ada beberapa faktor penyebab yang menghalangi manusia untuk berpikir. Satu, atau beberapa, atau semua sebab ini dapat mencegah seseorang untuk berpikir dan memahami kebenaran. Oleh karena itu, perlu kiranya setiap orang mencari faktor-faktor yang menyebabkan mereka berada dalam kondisi yang kurang baik tersebut, dan berusaha melepaskan diri darinya. Jika tidak dilakukan, ia tidak akan mampu mengetahui realitas yang sebenarnya dari kehidupan dunia yang pada akhirnya menghantarkannya kepada kerugian besar di akhirat. 

Dalam Al-Qur'an Allah memberitakan keadaan orang-orang yang terbiasa berpikir dangkal: 
"Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya". (QS. Ar-Ruum, 30: 7-8)

1. KELUMPUHAN MENTAL AKIBAT SELALU MENGIKUTI ORANG LAIN
H

Satu sebab yang membuat kebanyakan orang tersesat adalah keyakinannya bahwa apa yang dilakukan "sebagian besar" manusia adalah benar. Manusia biasanya lebih cenderung menerima apa yang diajarkan oleh orang-orang disekitarnya, daripada berpikir untuk mencari sendiri kebenaran dari apa yang diajarkan tersebut. 

Ia melihat bahwa hal-hal yang pada mulanya kelihatannya janggal seringkali dianggap biasa oleh kebanyakan orang, atau bahkan tidak terlalu dipedulikan. Maka setelah beberapa lama, ia kemudian menjadi terbiasa juga  dengan hal-hal tersebut. Sebagai contoh: sebagian besar dari teman-teman di sekitarnya tidak berpikir bahwa suatu hari mereka akan mati. Mereka bahkan tidak membiarkan satu orang pun berbicara mengenai masalah ini untukmengingatkan tentang kematian. Seseorang yang berada dalam lingkungan yang demikian akan berkata,"Karena semua orang seperti itu, maka tidak ada salahnya jika saya berperilaku sama seperti mereka." Lalu orang tersebut menjalani hidupnya tanpa mengingat kematian sama sekali. Sebaliknya, jika orang-orang di sekitarnya bertingkah laku sebagai orang yang takut kepada Allah dan beramal secara sungguh-sungguh untuk hari akhir, sangat mungkin orang ini akan juga berubah sikap. 

Sebagai contoh tambahan: ratusan berita tentang bencana alam, ketidakadilan, ketidakjujuran, kedzaliman, bunuh diri, pembunuhan, pencurian, penggelapan uang diberitakan di TV dan majalah-majalah. Ribuan orang yang membutuhkan bantuan disebutkan setiap hari. Tetapi banyak dari mereka yang membaca berita-berita tersebut, membolak-balik halaman surat kabar atau menekan tombol TV dengan tenangnya. Pada umumnya, manusia tidak memikirkan mengapa berita-berita semacam ini demikian banyak; apa yang harus dilakukan dan persiapan-persiapan apa yang harus dilakukan untuk mencegah terjadinya peristiwa yang sedemikian mengenaskan; serta apa yang dapat mereka lakukan untuk mengatasi masalah tersebut. Kebanyakan manusia menuding orang atau pihak lain bertanggung jawab atas kejadian-kejadian tersebut. Dengan seenaknya mereka melontarkan kata-kata seperti "apakah menjadi tanggung jawab saya untuk menyelamatkan dunia ini?"

2. KEMALASAN MENTAL
H

Akibat kemalasan mental, manusia melakukan segala sesuatu sebagaimana yang pernah mereka saksikan dan terbiasa mereka lakukan. Untuk memberikan sebuah contoh dari kehidupan sehari-hari: cara yang digunakan para ibu rumah tangga dalam membersihkan rumah adalah sebagaimana yang telah mereka lihat dari ibu-ibu mereka dahulu. Pada umumnya tidak ada yang berpikir, "Bagaimana membersihkan rumah dengan cara yang lebih praktis dan hasil yang lebih bersih" dengan kata lain, berusaha menemukan cara baru.

Demikian juga, ketika ada yang perlu diperbaiki, manusia biasanya menggunakan cara yang telah diajarkan ketika mereka masih kanak-kanak. Umumnya mereka enggan berusaha menemukan cara baru yang mungkin lebih praktis dan berdaya guna. Cara berbicara orang-orang ini juga sama. Cara bagaimana seorang akuntan berbicara, misalnya, sama seperti akuntan-akuntan yang lain yang pernah ia lihat selama hidupnya. Para dokter, banker, penjual dan orang-orang dari latar belakang apapun mempunyai cara bicara yang khas. Mereka tidak berusaha mencari yang paling tepat, paling baik dan paling menguntungkan dengan berpikir. Mereka sekedar meniru dari apa yang telah mereka lihat.

Cara pemecahan masalah yang dipakai juga menunjukkan kemalasan dalam berpikir. Sebagai contoh: dalam menangani masalah sampah, seorang manajer sebuah gedung menerapkan metode yang sama sebagaimana yang telah dipakai oleh manajer sebelumnya. Atau seorang walikota berusaha mencari jalan keluar tentang masalah jalan raya dengan meniru cara yang digunakan oleh walikota-walikota sebelumnya. Dalam banyak hal, ia tidak dapat mencari pemecahan yang baru dikarenakan tidak mau berpikir. Sudah pasti, contoh-contoh di atas dapat berakibat fatal bagi kehidupan manusia jika tidak ditangani secara benar. Padahal masih banyak masalah yang lebih penting dari itu semua. Bahkan jika tidak dipikirkan, akan mendatangkan kerugian yang besar dan kekal bagi manusia. 

Penyebab kerugian tersebut adalah kegagalan seseorang dalam berpikir tentang tujuan keberadaannya di dunia; ketidakpedulian akan kematian sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dihindari; dan kepastian akan hari penghisaban setelah mati. Dalam Al-Qur'an, Allah mengajak manusia untuk merenungkan fakta yang sangat penting ini:
"Mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, dan lenyaplah dari mereka apa yang selalu mereka ada-adakan. Pasti mereka itu di akhirat menjadi orang-orang yang paling merugi. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (daripada perbandingan itu)?" (QS. Huud, 11: 21-24)
"Maka apakah (Allah) yang menciptakan itu sama dengan yang tidak dapat menciptakan (apa apa) ? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl, 16: 17)

3. MENGANGGAP BAHWA BERFIKIR TERLALU DALAM TIDAK BAIK
H

Ada sebuah kepercayaan yang kuat dalam masyarakat bahwa berpikir secara mendalam tidaklah baik. Mereka saling mengingatkan satu sama lain dengan mengatakan "jangan terlalu banyak berpikir, anda akan kehilangan akal". Sungguh ini tidak lain hanyalah omong kosong yang didengung-dengungkan oleh mereka yang jauh dari agama. Yang seharusnya dihindari bukanlah tidak berpikir, akan tetapi memikirkan keburukan; atau terjerumus dalam keragu-raguan, khayalan-khayalan atau angan-angan kosong. 

Mereka yang tidak memiliki keimanan yang kuat kepada Allah dan hari akhir, tidak berpikir mengenai hal-hal yang baik dan bermanfaat, akan tetapi hal-hal yang negatif. Sehingga hasil yang tidak bermanfaatlah yang pada akhirnya muncul dari perenungan mereka. Mereka berpikir, misalnya, bahwa hidup di dunia adalah sementara, dan bahwa mereka suatu hari akan mati, akan tetapi hal ini menjadikan mereka putus harapan. Sebab secara sadar mereka tahu bahwa menjalani kehidupan tanpa mengikuti perintah Allah hanya akan menyengsarakan mereka di akhirat. Sebagian dari mereka bersikap pesimistik karena berkeyakinan bahwa mereka akan lenyap sama sekali setelah mati.

Orang yang bijak, yang beriman kepada Allah dan hari kemudian memiliki pola pikir yang sama sekali berbeda ketika mengetahui bahwa hidup di dunia hanyalah sementara. Pertama-tama, kesadarannya akan kehidupan dunia yang sementara mendorongnya untuk memulai sebuah perjuangan atau kerja keras yang sungguh-sungguh untuk kehidupannya yang hakiki dan abadi di akhirat. Karena tahu bahwa hidup ini cepat atau lambat akan berakhir, ia tidak terlenakan oleh ambisi syahwat dan kepentingan dunia. Ia terlihat sangat tenang. Tak satupun peristiwa yang menimpanya dalam kehidupan yang sementara ini membuatnya marah. Dengan ceria ia selalu berpikir tentang harapan untuk meraih kehidupan yang abadi dan menyenangkan di akhirat. Ia juga sangat menikmati keberkahan dan keindahan dunia. Allah telah menciptakan kehidupan dunia dengan tidak sempurna dan penuh kekurangan sebagai ujian bagi manusia. Ia berpikir bahwa jika dalam kehidupan di dunia yang tidak sempurna dan cacat ini terdapat demikian banyak kenikmatan untuk manusia, maka sudah pasti kehidupan surga amat tak terbayangkan lagi keindahannya. Ia mendambakan untuk melihat keindahan yang hakiki di akhirat. Dan ia memahami semua hal tersebut setelah berpikir secara mendalam.

4. TERLENA DENGAN KEHIDUPAN SEHARI-HARI
H

Kebanyakan manusia menghabiskan keseluruhan hidup mereka dalam "ketergesa-gesaan". Ketika mencapai umur tertentu, mereka harus bekerja dan menanggung hidup diri mereka dan keluarga mereka. Mereka menganggap hal ini sebagai sebuah "perjuangan hidup". Dan, karena harus bekerja keras, jungkir balik dalam pekerjaan, mereka mengatakan tidak mempunyai waktu lagi untuk hal-hal yang lain, termasuk berpikir. Akhirnya mereka pun terbawa larut oleh arus ke arah mana saja kehidupan mereka ini membawa mereka. Dengan demikian, mereka menjadi tidak peka lagi dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar.

Namun, tidak sepatutnya manusia memiliki tujuan hidup hanya sekedar menghabiskan waktu; bergegas pergi dari satu tempat ke tempat yang lain. Yang terpenting di sini adalah kemampuan melihat kenyataan sesungguhnya dari kehidupan dunia ini untuk kemudian menempuh jalan hidup yang sebenarnya. Tidak ada satu orang pun yang mempunyai tujuan akhir mendapatkan uang, bekerja, belajar di universitas atau membeli rumah. Sudah barang tentu manusia perlu melakukan ini semua dalam hidupnya, namun yang mesti senantiasa ada dalam benaknya ketika melakukan segala hal tersebut yaitu kesadaran akan keberadaan manusia di dunia sebagai hamba Allah, untuk bekerja demi mencari ridha, kasih sayang dan surga Allah. Segala perbuatan dan pekerjaan selain untuk tujuan tersebut hanyalah berfungsi sebagai "sarana" untuk membantu manusia dalam meraih tujuan yang sebenarnya. Menempatkan sarana sebagai tujuan utama adalah sebuah kekeliruan yang amat besar yang didengung-dengungkan syaitan kepada manusia.

Seseorang yang hidup tanpa berpikir akan mudah sekali menjadikan sarana tersebut sebagai tujuan. Kita dapat menyebutkan contoh-contoh lain yang serupa dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: tidak dapat diragukan bahwa bekerja dan menghasilkan berbagai hal yang bermanfaat untuk masyarakat adalah perbuatan baik. Seseorang yang beriman kepada Allah akan melakukan pekerjaan tersebut dengan bersemangat sambil mengharapkan balasan Allah di dunia dan di akhirat. Sebaliknya jika seseorang melakukan hal yang sama tanpa mengingat Allah dan hanya mengharapkan imbalan dunia, seperti mendapatkan jabatan tinggi agar dihormati oleh masyarakat, maka ia telah melakukan kekeliruan. Ia telah melakukan sesuatu yang sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mencapai tujuannya, yakni mencari ridha Allah.

Ketika menemukan realitas yang sebenarnya di akhirat, ia merasa sangat menyesal karena telah melakukan hal yang demikian. Dalam sebuah ayat, Allah merujuk ke mereka yang terpedaya oleh kehidupan dunia sebagaimana berikut:
"(Keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. At-Taubah, 9: 69).

Sejarah Suku Bugis

Orang bugis memiliki berbagai ciri yang sangat menarik. Mereka adalah contoh yang jarang terdapat di wilayah nusantara. Mereka mampu me...